Senin, 15 Juni 2009

kalau bulan jatuh cinta

Langkah Maya kian cepat menapaki tangga menuju kelasnya begitu mendengar bel tanda istirahat usai. Ia tak ingin Bu Nurky masuk kelas sebelum dirinya. Selain itu, ia harus menyempatkan diri menginterogasi Wulan.
"Heh, kemana aja kamu selama istirahat?" Maya langsung sewot karena Wulan ternyata sudah duduk di bangkunya.
Wulan cuma tersenyum.
"Di kantin anak-anak pada nanyain. Dodo nagih novel silat yang kamu pinjem, Idang nagih sebotol Fanta lantaran kamu kalah taruhan atas pertandingan bola semalam di teve, terus... aduh siapa lagi ya? Heh, malah cengengesan!"
"Lagian elo kok mau-maunya ngapalin pesen orang. Biar aja mereka nagih langsung," timpal Wulan.
"Begitu ya? Terus kemana aja kamu selama dua hari ini setiap bunya bel istirahat kamu langsung ngilang?"
"Ke perpustakaan."
Maya terbelalak. "Apa nggak salah tuh? Di sana kan seumur-umur nggak akan kamu temuin novel silat, Wul! Kapan kamu terakhir minum obat sih?"
"Lho, memangnya perpustakaan cuma buat baca-baca. Nggak...."
"Terus ngobrol dengan cowok? Hayo siapa dia?"
Wulan merasa dirinya terancam. Diliriknya pintu kelas. Aduh, moga-moga Bu Nurky cepat datang. Nah, benar kan. "Ssst, Bu Nurky dateng tuh!" bisik Wulan buru-buru.
Maya kesal. Mulutnya komat-kamit tanpa suara. Ia belum puas kalau pertanyaannya tak dijawab. Apalagi agaknya dugaannya kali ini benar. Ya, soal cowok. Ia bisa menangkapnya dari sorot mata Wulan. Oh, ini benar-benar berita. Si Iwul alias Wulan alias Rembulan Giargina sedang jatuh cinta. Tapi... berita itu belum cukup informasinya tanpa diketahui siapa cowok yang ditaksir Wulan. Akan kuselidiki, biar tahu rasa Wulan. Hehehe....
"Maya, kenapa kamu cengar-cengir? Kamu ngetawain baju baru Ibu, ya?" Bu Nurky di depat sewot begitu melihat mimik muka Maya. Ia memang selalu mengawasi dua gadis badung di kelas ini.
"Nggak kok, Bu. Baju Ibu bagus. Ngomong-ngomong beli di Tanah Abang ya, Bu? Abis mirip dengan punya tetangga saya."
"Sembarangan kamu!" Bu Nurky menghardik. Mukanya pucat. Ia bingung karena sudah lima orang menebak dengan jitu di mana ia membeli baju itu. Karena kesal, ia langsung menyuruh murid-muridnya ulangan mendadak. Biar tau rasa!
Tapi Wulan nggak protes seperti biasanya. Malah tumben-tumbennya ia mengumpulkan lebih dulu kertas ulangannya tanpa lebih dulu menyebarkan ke teman-teman cowok di sekitarnya. Maya gemas karena ia baru mengisi separuh soal di depannya.
Sampai bel bubar pelajaran sosiologi, Maya cuma menjawab empat soal essay dari sepuluh yang diberikan. Pelajaran berikutnya, ia sama sekali nggak menegur Wulan.
Begitu bel pulang berbunyi Maya langsung keluar lebih dulu. Ia mengambil tempat untuk menguntit Wulan. Diperhatikannya sobatnya yang berambut ala vokalis Roxette itu berjalan ke depan laboratorium kimia. Heh, mau apa anak sosial ke sana? Lima menit kemudian dari dalam laboratorium ke luar para penghuninya. Wulan dihampiri seorang cowok cakep. Maya tak begitu kenal dengannya karena ia yakin cowok itu jarang nongkrong di kantin, jarang menyentuh lapangan basket, dan... bukankah dia Ibnu. Cowok yang suka disebut-sebut teman-teman cewek di kelasnya karena wajahnya yang menggemaskan kayak bayi.
Jadi Wulan naksir Ibnu?
Maya buru-buru berbalik menuju ke kantin. Beberapa sobat kentalnya seperti biasa masih nongkrong di sana mengganggu anak-anak kelas satu. "Heh, dengar nih aku punya berita penting. Aku tahu sekarang kenapa si Iwul jadi lain. Dia ternyata lagi kasmaran dengan Ibnu, anak fisika itu," Maya langsung bertetetoet.
"Yang benar, nggak mungkin Iwul naksir Ibnu. Maksud gue Ibnu kan cowok...."
"Don, jangan gitu sama teman. Tomboi-tomboi juga Wulan masih normal, kok!" bela Maya.
"Dengan penampilannya yang macam gitu? Gue rasa semua orang sependapat dengan gue," timpal Dodong. Yang lain langsung manggut.
"Gue pikir malah dia pacaran sama elo," timpal Ijul.
"Kalian benar-benar keterlaluan!"
"Bukan gitu. Kalau tahu Iwul masih selera dengan cowok, dari dulu udah gue pacarin," tambah Ijul.
Maya memonyongkan mulutnya. Ia berbalik karena respon yang diharapkan dari teman-tamannya berbeda. Dalam kendaraan Maya jadi memikirkan Wulan. Kalimat yang dilontarkan teman-temannya soal Wulan jadi pikirannya.
Wulan memang tomboi. Bukan cuma dari dandannya, tapi juga perilakunya. Cewek itu cuma punya teman cewek Maya, selebihnya lelaki. Wulan lebih suka nongkrong di kantin sekolah atau ke lapangan basket daripada ngerumpi dengan teman-teman sejenisnya. Wulan nggak suka majalah cewek. Suaranya berat dengan tawa yang terbahak. Terkadang malah Maya lupa kalau teman jahilnya itu bukan cewek.
Tapi Maya tahu benar Wulan masih normal, nggak seperti yang dituding teman-temannya. Esok harinya, cerita Wulan dan Ibnu jadi berita utama di SMA VIT. Entah siapa yang menyebarluaskan, dan lebih parah lagi menambah-nambahkan. Semuanya menyudutkan Wulan. Maya mengerti kalau kalimat nyinyir itu keluar dari para rival Wulan.
"Gimana bisa si Wulan pacaran dengan Ibnu? Dia kan nggak beres."
"Alaa, paling buat nutupin kenggakberesannnya."
"Tapi kok Ibnu mau, yah?"
"Semodern-modernnya dunia, dukun masih banyak, Non!"
Maya cuma menelan ludah mendengar mulut-mulut usil itu di tangga sekolah. Wulan juga pasti mendengar omongan usil itu. Mudah-mudahan ia nggak ngamuk.
Di dalam kelas raut muka Wulan nggak terlihat kisruh.
"Kamu udah dengar omongan orang di luar, Wul?"
Wulan mengangguk. "Biar aja, kafilah akan tetap berlalu meski anjing menggonggong."
"Kamu nggak bisa cuek gitu, Wul. Kalau kamu memang serius dengannya kamu harus perhatikan itu."
"Maksud elo, gue harus ngehajar mereka?"
"Bukan mereka, tapi kamu. Kamu harus mulai sedikit memperhatikan dirimu sendiri. Sori yah, Wul, terutama perilaku dan penampilanmu. Setelah aku pikir-pikir, ada salahnya juga mengabaikan omongan orang, terutama yang bernada kritis," papar Maya.
Wulan mendelik. "Kok elo jadi serius gini, May?"
"Aku cuma membayangkan kalau hal ini aku yang mengalaminya. Betapa sakitnya pasti. Apalagi kalau tudingan itu datang dari mulut teman-teman kita."
"Tudingan apa?"
"Bahwa kamu... mustahil menyukai cowok...."
Wulan terbelalak. "Gue belum denger yang itu. Siapa yang ngomong gitu? Biar gue hajar!"
"Tuh kan, kalau kamu begitu orang makin curiga. Seperti yang aku bilang, ada baiknya kalau kamu yang melakukan perubahan."
Wulan mendengus. "Elo yakin ini akan berhasil?"
"Tentu aja. Dan aku yakin Ibnu akan makin menyukaimu. Kamu serius kan dengannya?"
Wulan tersenyum. Maya sudah tiga kali gonta-ganti cowok, ia pasti tahu jawabannya.

***

Wulan akhirnya menyadari juga kalimat Maya. Ia memang nggak bisa terlampau mengacuhkan kata-kata orang. Bahwa orang menilai orang lain dari kulitnya memang selalu terjadi di mana-mana. Dan nggak ingin hal itu sampai berlarut-larut. Bagaimana kalau sampai terdengar ke telinga Mamanya tudingan-tudingan itu.
Wulan melakukan perubahan, kendati perlahan tapi amat terasa. Hari pertama ia mulai menjauhi berlama-lama di kantin, kemudian mengurangi tawanya, berikutnya ia membuat tatanan rambutnya lebih modis dan seterusnya. Sejauh ini, Ibnu memberi respon positif.
"Kamu tambah cantik, Wul!" puji Ibnu pada hari ketujuh mereka pacaran. Mereka merayakannya di KFC sepulang sekolah.
Wulan tersipu.
"Nanti malam aku mau ngajak kamu ke rumahku. Aku ingin mengenalkanmu pada orang rumah."
"Sungguh? Secepat ini?"
Ibnu mengangguk. Bulu halus di atas bibirnya membuat pesona sendiri buat Wulan. Tapi sedetik kemudian ada perubahan di mukanya. Wulan menangkap sebuah kegelisahan pada Ibnu. Sebelum Wulan sempat menanyakan sebuah suara berat terdengar dari belakangnya.
"Eh, di sini rupanya," cowok yang umur sekitar tiga tahun di atasnya itu menyapa Ibnu.
"Iya. Ngg... kenalin. Ini kakak sepupuku, Raka. Ini Wulan...."
"Pacar baru Ibnu," tambah Wulan.
"Sori nih keburu-buru. Ibnu, tolong bilang sama nyokap, aku di rumah sepanjang hari ini." Raka langsung pergi tanpa menunggu kalimat lagi dari Ibnu dan Wulan.
Wulan tak peduli. Mungkin ia terburu-buru. Wulan melirik Ibnu. Cowok itu agaknya masih gelisah. Kenapa?
"Aku harus buru-buru pulang, Wul. Nggak apa-apa, kan?"
Wulan mengangguk. Mereka meninggalkan KFC. Setelah Ibnu mengantarnya sampai depan rumah. Wulan buru-buru masuk ke kamar. Pikirannya langsung tertuju pada persiapan untuk acara nanti malam.
Gue nggak mau mengecewakan Ibnu, Wulan membatin.

***

Ibnu mengangkat mukanya. Wajah Raka di depannya masih datar belum ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya. Ibnu berharap hal ini akan segera beres.
"Jadi elo ngedeketin Wulan cuma buat pura-pura. Untuk nutupin keadaan elo di mata Mama sama Papamu. Emangnya nggak kepikiran ujungnya nanti. Gimana kalau Wulan ternyata benar-benar mencintaimu?"
"Tadinya Ibnu nggak berpikir sampai ke situ. Kirain, Wulan... sama seperti kita. Penampilan dan perilaku dia selama ini sudah Ibnu amatin, makanya Ibnu berani deketin dia. Tapi setelah dideketin, baru ketahuan dia ternyata normal. Rencana untuk berkompromi dengannya gagal, tapi Ibnu masih ngebutuhin dia untuk menutupi kecurigaan orang rumah." Ibnu mengingat bagaimana kata-kata nyinyir Mama ketika menemukan foto Raka di dompetnya. Untung saat itu Ibnu bisa berdusta.
"Terserah. Gue sebenarnya seneng-seneng aja kalo elo memang bisa sungguh-sungguh bisa mencintainya. Bercinta dengan normal. Nggak seperti hubungan kita saat ini. Tapi bukan dengan kepura-puraan yang melibatkan perasaan orang lain," Raka berusaha berbicara sedewasa mungkin. Ia sendiri sebenarnya sudah menguntit Ibnu beberapa hari ini. Dan betapa kagetnya ia ketika tahu Ibnu—yang bukan saudara sepupunya itu—tengah berusaha menggaet seorang cewek di sekolahnya. Ada perasaan cemburu bergelora.
Ibnu tersedak. Ia nggak mau ditinggal Raka, seseorang yang memberikan kasih yang diimpikannya. Nggak mau kendati ia tahu hal itu nggak wajar. Dan Wulan, belum benar-benar mampu singgah di hatinya.
"Lakukanlah yang menurutmu terbaik saat ini juga," kata Raka sambil menunjuk HP di dekat Ibnu.
Tanpa ragu Ibnu menelepon Wulan.
"Halo, Ibnu! Udah siap, nih. Kapan gue dijemput?"
"Wulan... aku harus bilang... aku nggak jadi mengajakmu ke rumah. Dan mengenai hubungan kita... sebaiknya berakhir sampai di sini aja." Ibnu sadar kalimatnya akan menyakiti hati Wulan. Tapi biar gimana juga ia harus mengatakannya. Lebih cepat lebih baik bagi Wulan dan dirinya.
"Ibnu, elo nggak bercanda, kan? Ini... ini terlalu singkat. Kenapa, Ibnu? Ada yang salah dengan gue?"
"Bukan... bukan kamu yang salah. Aku yang salah. Tapi aku belum bisa ngomong sekarang. Aku belum siap...."
Wulan mematikan HP-nya. Berjam-jam ia nggak sabar nunggui datangnya malam, dan ketika saatnya datang justru kabar buruk yang ia terima. Wulan menengadahkan kepalanya memandang langit dari jendela kamar. Rembulan termangu di atas sana. Wulan benar-benar belum siap untuk patah hati.

1 komentar: